Pulang Bu!
PULANG
BU!
Oleh
: Suhastari Yuliana
Setelah
mandi pagi, Ningrum segera mengemasi barang-barangnya. Ia sudah bertekad hari
ini tidak akan pulang ke rumah. Ia akan menginap di rumah lamanya di perumahan
dekat tempat ia bekerja. Setelah dipikir dan ditimbang , akhirnya ia mengambil
keputusan ini.
“
Biar ini jadi pelajaran untuk Mas Tyo. Sebenarnya dia itu butuh aku apa
tidak?”katanya.
Ningrum
dan keluarga kecilnya baru pindah beberapa hari di rumah baru. Rumah baru ini
dekat dengan rumah mertua dan adik-adik iparnya. Tyo, suaminya anak pertama
dari tiga bersaudara, laki-laki semua. Alhamdulillah bapak mertuanya masih
sehat dan tinggal serumah dengan Amin, adik bungsu suaminya sudah menikah namun
belum dikaruniai anak. Ibu mertuanya sudah meninggal dua puluh hari setelah
Ningrum menikah dengan Tyo. Adik Tyo yang kedua juga tinggal bersebelahan,
namanya Tono sudah memiliki seorang anak laki-laki umur sepuluh tahun.
Ningrum
seorang guru PNS, suaminya karyawan di SMK swasta. Sebenarnya Ningrum senang
tinggal bersebelahan dengan saudara ipar dan mertuanya, meski sekarang ia jadi
lebih jauh menuju tempat kerjanya. Rumah lamanya sangat dekat dengan tempat
kerjanya, cukup berjalan kaki sebentar melewati sawah sudah sampai. Kalau ada
barang yang tertinggal, atau perlu sesuatu bisa pulang mengambilnya. Selain
bekerja, suaminya juga menggarap sawah, tidak terlalu luas tetapi lumayan jadi
tidak membeli beras. Ningrum merasa kasihan kepada suaminya karena setiap hari
pulang malam sekitar jam delapan baru sampai rumah.Setiap sore sepulang
bekerja, tyo langsung ke tempat orang tuanya, untuk menggarap sawahnya sampai
sebelum maghrib. Selesai salat maghrib istirahat sambil menunggu waktu isya.
Setelah salat isya baru suaminya pulang ke rumah. Sampai di rumah istirahat
sambil menonton televisi kemudian tidur. Waktu untuk berkomunikasi dengan
Ningrum sangat sedikit. Ningrum merasa kesepian, apalagi anak laki-laki
satu-satunya juga sedang mondok di pesantren. Akhirnya Ningrum meminta suaminya
untuk pindah mendekat dengan saudaranya agar bisa menggarap sawah.
“Biarlah aku yang mengalah, menjadi jauh
dengan tempat kerjaku. Ilham juga akan segera masuk MAN dan transpotasinya
lebih mudah kalau di rumah baru”pikirnya saat itu.
Beberapa
hari ini suaminya sakit karena kecapaian. Seperti tahun-tahun sebelumnya, hal
ini selalu membuat Ningrum sebal kepada suaminya. Kebiasaan Tyo kalau sedang
sakit akan diam saja dan tiduran sepanjang hari. Dibuatkan makanan atau minuman
utuh, disuruh makan katanya pahit, disuruh minum suplemen juga utuh, dipijat
badannya juga tidak mau. Keadaan seperti ini membuat Ningrum diacuhkan, ia
merasa tidak berguna. Sementara melihat penderitaan suaminya yang demam, batuk
bahkan muntah membuatnya sangat tersiksa. Padahal suami teman-temannya kalau
sedang sakit biasanya manja, minta perhatian dan dipijat. Tetapi suaminya
membuat dirinya seolah-olah tidak berguna sama sekali. Sehingga di mata
Ningrim, suaminya menjadi laki-laki yang sangat menyebalkan. Karena merasa
sudah beberapa hari ini ia tidak dibutuhkan, maka Ningrum bertekad menjauh
sementara dari suaminya, daripada ia semakin sebal ketika melihat suaminya.
Di
tempat kerja ia bisa melupakan masalah rumah tangganya, bertemu anak-anak
didiknya dan rekan guru. Tetapi ketika sendirian, Ningrum merasa sepi.
Untunglah teman kerja dan tetangganya tidak ada yang curiga ketika ia mengianap
di perumahan. Kalau ada yang bertanya, ia menjawab sedang membersihkan
perumahan karena kemarin belum sempat dibersihkan setelah barang-barang
dipindah ke rumah baru. Ningrum juga sekalian memanggil tukang untuk mengecat
rumah dan memperbaiki bagian yang rusak, mungkin saja besok-besok ada yang
mengontrak jadi rumah sudah bersih dan siap dihuni kembali.
Malam
pertama ia menginap bertepatan dengan hari ulang tahun suaminya, sebenarnya ia
sangat ingin mengucapkan selamat tetapi kenyataanya ia malah pergi meninggalkan
suaminya. Ia berharap suaminya menelpon atau mengirim sms, tapi rasanya
mustahil. Suaminya tidak pernah mengkhwatirkan Ningrum ketika sedang ngambek,
ia percaya Ningrum tidak akan berbuat sesuatu yang bodoh,
“
Ningrum hanya sedang ingin sendiri paling tidur di perumahan”pikirnya.
Siang
tadi Ningrum mengirim pesan kepada anaknya, bahwa ia tidur di perum karena
sedang bersih-bersih dan ada tukang sedang mengecat.
“Besok
kalau sudah selesai Ibu pulang, jaga rumah, dibersihkan, jangan lupa belajar!”pesannya
pada Ilham.
Malam
semakin larut dan bertambah sunyi, Ningrum masih terjaga dengan beralaskan
karpet yang sudah rusak, berbantal tas, berselimut jaket dan berkaos kaki agar
tidak kedinginan. Barang-barangnya sudah dipindah semua sehingga ia menggunakan
benda seadanya untuk tempat tidur.
“Ya
Allah, luruskanlah jalanku, jauhkan aku dari keburukan dan dekatkan aku dengan
kebaikan. Maafkan aku durhaka kepada suami, karena bila dekat dengannya aku jadi
membencinya. Ya Allah tenangkan dan tentramkanlah hatiku. Jagalah diriku,
suamiku, anakku dan orang-orang yang kucintai”pintanya dalam doa.
Ningrum
berdzikir agar hatinya tenang, ia sadar semakin ia menyakiti suamianya justru
ia sendiri yang merasa sakit. Ia memohon perlindungan kepada Allah hingga
akhirnya ia tertidur.
Paginya
ia beraktivitas seperti biasanya. Hari kedua sampai malam, suaminya masih belum
menghubunginya. Ningrum bertambah sebal, suami macam apa, tidak mengkhatirkan
istrinya padahal tidak pulang dua hari. Ningrum merasa gengsi untuk menghubungi
suaminya lebih dulu. Akhirnya ia menghubungi anaknya,
“Bagaimana
sekolahnya? Kalau ada PR dikerjakan, rumahnya dibersihkan, baju kotor
dicuci!”katanya mengingatkan.
“Bapak
sakitnya bagaimana, sudah lebih sehat atau tambah parah?”tanya Ningrum.
“Bapak
sudah lebih sehat, kapan ibu pulang?” tanya Ilham “ Aku tidak mau mencuci, ibu
saja yang mencuci. Itu kan tugasnya ibu!”
“Huh…suami
sama anak sama saja, menyebalkan”gerutu Ningrum.
Sedikit
lega hatinya, mengetahui suaminya sudah lebih sehat. Ningrum merenung mengingat
sisi positif suaminya. Pada dasarnya suaminya sangat baik, pengertian, tidak
pernah berkata kasar. Kalau mereka sedang berselisih suaminya selalu mengalah
dan memilih diam. Mereka melaksanakan aktifitas dan tugas masing-masing dan
tidak akan bertegur sapa untuk beberapa saat. Jika Ningrum sudah reda marah
atau ngambeknya maka Tyo akan mengajaknya bicara untuk menyelesaikan
perselisihan mereka. Ningrum bersyukur selama mereka menikah, belum pernah
terjadi keributan yang heboh, saling mencaci apalagi sampai melempar barang.
Mereka cukup mundur, perlu waktu untuk merenung, saling instropeksi dan
mengingat kembali tujuan berumah tangga.
Kekurangan
suaminya hanya pada komunikasi. Seperti kalau sedang sakit seperti ini, Ningrum
merasa kesulitan untuk memahaminya. Ningrum hanya bisa berdoa agar keluarga dan
rumah tangganya selalu mendapat rahmatNya. Ningrum sadar ia telah durhaka
kepada suaminya, besok hari ketiga ia ngambek, sudah saatnya harus pulang dan
diseleseaikan dengan baik dan benar. Ningrum tertidur tak sabar menunggu esok.
Paginya
di sekolah Ningrum menemui Ponidi penjaga sekolah, yang membantunya mengecat
rumah.
“Mas
pon, nanti siang sudah bisa selesai mengecatnya?” tanya Ningrum “Tolong atap
dapur yang bocor diganti sekalian dengan fiber yang baru ya!”pintanya.
“Siap
bu, insyaaAllah duhur sudah beres semua”jawab Ponidi.
“Sekalian
sampah sama kaleng bekas catnya dibuang
ke tempat pembuangan sampah ya mas!”
Setelah
berbincang dengan Ponidi, Ningrum bergegas ke kelas melaksanakan aktifitas
pembelajaran. Selesai pembelajaran, Ningrum segera berkemas membersihkan kelas
dan menyiapkan pembelajaran untuk hari Senin. Pukul 12.10 siang Ningrum meminta
ijin kepada kepala sekolah untuk pulang lebih dulu. Teman gurunya ada yang ikut
pamit ada juga yang masih menyiapkan pembelajaran.
Sampai
di perumahan, Ponidi sedang merapikan alat-alat, Ningrum segera membantunya
dengan mengumpulkan sampah dan benda yang tidak terpakai. Selesai Ponidi
membuang sampah, ia pun pamit.
“Mas
Pon terima kasih saya sudah dibantu,
maaf saya merepotkan. Besok kalau saya perlu bantuan lagi, mohon dibantu lagi
ya”kata Ningrum sambil menyerahkan ongkos mengecat.
“Ya
bu sama-sama, saya juga terima kasih dan mohon maaf kalau ada salah”jawab
Ponidi.
Ningrum
kembali membersihkan rumah dan merapikan perlengkapannya.Setelah memastikan
rumah sudah bersih, tidak ada air dalam ember, kran air dimatikan, mengunci
pintu dan menutup pagar, Ningrum pulang dengan mengucap basmallah berniat
menyelesaikan masalahnya.
Sepanjang
perjalanan, Ningrum berpikir menyiapkan kata-kata dan sikap yang akan
disampaikan kepada suaminya. Alhamdulillah sampai di rumah dengan selamat,
Nampak suaminya di belakang rumah sedang beres-beres dengan adiknya. Tyo
tersenyum melihat Ningrum sudah pulang
“Baru
pulang mba. Kemarin tidur di perum ya? Sepertinya aku tidak melihat njenengan
beberapa hari”tanya Amin adiknya.
“Ya
lik, membersihkan perumahan sekalian minta tolong mengecat, sudah kusam”jawab
Ningrum.
Setelah
motor naik ke teras belakang rumah, Ningrum
memasukkan motornya ke dalam rumah dengan tetap mengendarainya, namun
celaka tepat di tengah pintu kakinya menyerempet pintu dan terkena pedal gas.
“Aduh
sakitnya..pakai nyrempet pintu lagi”kata Ningrum sambil meringis menahan sakit.
“Mmungkin
ini hukuman dari Allah karena sudah durhaka pada suami”kata Ningrum dalam hati.
Lukanya
cukup dalam dan terasa sangat perih, ia segera mengolesi lukanya dengan minyak
balur untuk mengurangi rasa sakitnya.
“Asyik
Ibu sudah pulang, Kakinya kenapa, kok jalannya jinjit”?tanya Ilham anaknya yang
baru keluar dari kamar.
“Kena
pintu, tadi waktu masukin motor ke rumah”jawab Ningrum.
“Ibu
nanti aku ijin mau main futsal sama teman-teman, boleh ya?”pinta anaknya.
“Boleh,
yang penting kalau sudah selesai langsung pulang, tidak keluyuran dan jangan
sampai kemalaman”jawab Ningrum.
Sesudah
waktu ashar, Ilham pamit berangkat bermain futsal. Selesai salat, Ningrum
tiduran di sofa ruang keluarga. Suaminya mendekat dan memeluknya, Ningrum
mencoba melepaskan pelukannya. Tetapi suaminya malah memeluknya semakin erat.
“Maafkan
Bapak ya bu, jangan marah. Kalau Bapak sedang sakit biarkan saja, nanti juga
sehat lagi”kata Tyo. “Karena Bapak capai, maka Bapak diam saja tidak mau
merepotkan Ibu”
“Tapi
aku merasa tidak berguna untukmu!” jawab Ningrum sengit.
“Ssst…Ibu
kan sudah capai kerja, masa Bapak mau merepotkan Ibu juga” jawab Tyo.
“Bapak
menyebalkan, minggir sana!”jawab Ningrum mendorong suaminya sambil terisak.
“Jangan
menangis, Bapak kan sayang Ibu. Maaf kalau Bapak salah. I love you”bisik Tyo.
Tyo
semakin erat memeluk, dicium kening istrinya sambi menyeka air matanya
“Gombal,
tukang bohong”jawab Ningrum tersipu sambil menutup wajahnya dengan bantal sofa.
Seketika
hati Ningrum merasakan kesejukan, ketentraman sekaligus kebahagiaan.
“Ibu
juga minta maaf, ya. Masih suka ngambek dan kabur” pinta Ningrum.
Tyo
mengangguk sambil tersenyum, digenggam dan dicium tangan Ningrum. Suaminya
memang terkadang menyebalkan tetapi ia
tidak pernah bisa membencinya karena rasa cintanya jauh lebih besar.
Beginilah indahnya berumah tangga, ada konflik yang pasti terjadi dan harus
segera diselesaikan agar tidak menjadi boomerang, justru menjadi bumbu penyedap
dalam berumah tangga agar semakin nikmat dan memahami pasangan.
Komentar
Posting Komentar