19. Pengalaman Menerbitkan di Penerbit Mayor


RESUME BELAJAR MENULIS GELOMBANG 9
Pertemuan Ke-19
Hari/Tanggal             : Senin, 04 Mei 2020
Waktu                         : Pukul 13.00 s/d 15.00 WIB
Nara Sumber            : Ukim Komarudin
Materi                         : Pengalaman menerbitkan Tulisan di penerbit Mayor
Peresume                  : Suhastari Yuliana, S.Pd.AUD

Menurut Pak Ukim menulis merupakan ekspresi pribadi. Oleh karena itu, sangat penting agar kita memiliki tempat mencurahkan segala kegelisahan atau apapun bentuknya, dan menulis adalah sarana yang tepat . Tak perlu merasa khawatir, terkait dengan kualitas tulisan, tidak perduli  dengan ragam atau apa yang menjadi trend di masyarakat. Pokoknya menulis, karena menulis adalah kebutuhan.  Demikian hal itu terus berjalan hingga jika tidak dilakukan seperti ada sesuatu yang hilang. Demikianlah menulis dengan jujur, sejujur-jujurnya, apa adanya.

Selain menulis apa adanya,  juga menulis apa saja. Karena pak Ukim seorang guru, beliau menulis terkait pelajaran, beragam kegiatan berupa proposal, liputan kegiatan yang harus dituliskan di majalah, dan menulis buku harian. Begitu setiap saat diisi dengan menulis.
Hingga sampai suatu hari, tulisan-tulisan itu mulai dilirik orang-orang terdekat, yang dalam hal ini teman-teman guru. Satu dua teman berkomentar bahwa tulisan beliau bagus. Istilah mereka, tulisannya emotif. Kata mereka juga, tulisannya dapat membuat pembaca larut dalam cerita,  bahasanya sederhana dan mudah dicerna oleh pembaca. Ada juga yang mengaku bahwa sepenggal tulisannya dapat dijadikan ceramah atau kultum, dan lain sebagainya.

Karena komentar tersebut, beliau mencoba membukukan tulisan-tulisan  yang selama ini merekam semua kejadian karena memang senang membuat buku harian. Ada beragam kejadian, tetapi tema besar, yang dituliskan merupakan pelajaran seorang dewasa (guru) dari anak-anak "cerdas" yang menjadi siswanya. Oleh karena tulisan itu beragam kejadian, beragam waktu, dan dari beragam tokoh, maka  dituliskan judul buku tersebut, "Menghimpun yang Berserak." Sebuah usaha untuk mengumpulkan segenap mutiara yang berserakan dalam kehidupan yang sangat bermanfaat bagi pak Ukim dan semoga bermanfaat pula buat orang lain (pembaca).

Beliau diinterview terkait dua bagian buku. Pertama, buku bersama yakni buku mata pelajaran. Kedua, buku pribadi , "Menghimpun yang Berserak." Dalam kesempatan interview itulah beliau banyak mendapatkan pengetahuan terkait tips dan trik menerbitkan buku.
Beliau banyak mendapatkan pelajaran menyangkut hal-hal yang tadinya tidak  dipikirkan. Pelajaran atau informasi itu awalnya, membuat  tidak nyaman karena menabrak prinsip menulisnya. Umpamanya, "Apakah ketika   menulis buku"Menghimpun yang Berserak" ini sudah memperkirakan akan laku di pasaran?" Kalau sudah ada,  apakah buku  punya nilai tambah sehingga pembaca melirik dan membeli bukunya? Untuk kepentingan pasar, "Apakah bersedia apabila beberapa hal terjadi penyesuaian (diganti)? dst. Terus terang, beliau merasa kurang nyaman dengan interview itu, karena merasa "dipenjara". Inikan ekspresi pribadinya, mengapa orang lain bisa mengatur hal-hal yang sangat privasi? Menyebalkan! Begitu, oleh-oleh pulang dari interview.

Jujur, ada jarak agak lama berselang setelah kejadian itu. Beliau menganggap perlu waktu untuk menjernihkan pikiran. Untunglah beliau punya sahabat. Ia menceritakan permasalahan yang dirasakan kepada teman yang sudah menjadi penulis "beneran". Hebatnya, sahabatnya menceritakan bahwa pengalaman yang ia dapatkan itu baik dan mestinya disyukuri. Sahabatnya kemudian menjelaskan tentang proses menulis yang melibatkan tim agar tulisan yang kita buat sampai kepada pembaca. Sahabatnya menyudutkannya dengan mengatakan bahwa sikapnya menyebabkan tulisan hanya untuk sendiri, kalau pun nanti ada yang membaca itu hanya segelintir orang saja. Itu berarti, pak Ukim minimal dalam memberi manfaat buat orang lain atau istilah lainnya  egois.

Sahabatnya menjelaskan bahwa yang menanyai  itu mungkin editor. Sebab, editor adalah garda depan yang menentukan naskah itu layak diterbitkan atau sebaliknya. Untuk pemula yang karyanya berpotensi layak untuk diterbitkan  memang harus dipoles di sana sini, agar lebih bagus.

Jika nanti naskah itu bisa melewati editor, maka proses "menjadi" memang mengalami banyak hal. Ada bagian gambar sampul, ilustrasi, photo jika diperlukan, tata letak, dan lainnya sesuai konfirmasi. Yang jelas, semuanya merupakan tim,  yang akan menyukseskan penulis.
Demikianlah beliau menjalani proses, hingga akhirnya ada proses sebelum naik cetak,  yang sangat penting dalam proses kreatif , yakni menerima dami atau calon buku yang sama persis jika akhirnya bisa dicetak. Beliau gembira sekali menerima buku dami itu, saking gembiranya,  menandatangi saja kontrak kerjasama tanpa membaca persentase yang kelak  diterima. Diduga sikap itu bukan sembrono, tetapi karena memang pak Ukim menulis bukan untuk hal tersebut.

Akhirnya, beliau mendapat konfirmasi kabar bahwa ada meeting terkait dengan terbitnya buku. Pertama, pak Ukim menerima buku pribadi, yang jumlahnya hanya 5 buku. Buku tersebut berstempel tidak diperjual belikan. Kedua, beliau diajak bicara terkait dengan teknis launching Buku "Menghimpun yang Berserak". Ini soal bagaimana membuat buku laku. Ketiga,  penerbit menerbitkan jumlah yang diterbitkan pada penerbitan pertama ini dan kurang lebih 6 bulan kemudian  baru akan mendapat royaltinya.

Peran beliau kemudian adalah mengusahakan bukunya dapat dinikmati orang lain. Kala itu agak sulit karena media sosial belum sedasyat sekarang. Kebetulan beliau pembicara, sehingga berupaya menjual buku-bukunya pada kesempatan bicara tersebut.

Kriteria yang dianggap layak untuk menerbitkan buku, khususnya terkait buku mata pelajaran, biasanya penerbit mencari buku yang mempunyai ciri sebagai berikut :
1.    Menunjukkan penggunaan pendekatan baru;
2.    Lebih lengkap;
3.    Penulisnya memang berkualifikasi luar biasa;
4.    Naskah renyah (enak dibaca);  
5.    Diutakan dari hasil penelitian lembaga-lembaga pendidikan terbaik.

Terkait dengan pengalamannya, butuh waktu paling lama 6 bulan agar tulisannya dilirik penerbit. Jika tidak ada kabar, maka pindah ke penerbit lain atau naskah perlu direvisi ulang.

Media yang pertama digunakan Pak Ukim untuk mempublikasikan tulisannya  di bulletin sekolah, buletin pendidikan DKI, lalu buletin Diknas, dst.

Buku  Guru juga Manusia bisa terjual banyak dan menjadi best seller karena bantuan publikasi media sosial yang saaat itu sudah mulai menggejala. Untuk buku berikutnya, beliau mendapatkan berkah dari medsos itu.

Menurut beliau semua buku yang pernah ditulis berkesan. Dia seperti anaknya, ada yang berkembang dan bermakna bagi masyarakat luas. Ada juga yang diam-diam hanya dibaca sahabat dekat ketika dia terpuruk di sudut kamar. Semuanya disyukuri, karena lahir dari beliau dan bangga atas rezekinya.

Penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Banyak-banyaklah membaca sehingga akan mampu menulis. Menulislah setiap hari, dan sertai juga membaca agar tulisan kita berkualitas.  Menulis (produktif) pasokannya adalah membaca (receptif). Menulis saja. Dengarkan respons dari sekitar. Kita memang membutuhkan orang yang membuat kita terlecut menjadi lebih baik.

Semua tulisan ada pagunya. Minimal itu sebagai pegangan dasar. Ke sananya, ketika kita mahir, kita mampu membuat varasi-variasi yang kita kehendaki tetapi tetap berpegang pada pagunya.

Mengenai sistem kerja sama dengan penerbit tentang  royalti dan pembelian naskah.
Pertama, naskah dibiayai hingga terbit dengan nama penulis sebagai pencipta buku dipertahankan. Sebagai gantinya, pihak penerbit menawarkan royalty sebagai pengahasilan penulis dengan rentang 10% s.d. 12%). Artinya, penghasilan atau keuntungan sisanya milik penerbit.
Kedua, naskah dibeli oleh penerbit. Anda sebagai penulis tak lagi berhak mencantumkan nama karena hak naskah sudah anda jual. Biasanya harga naskah tinggi hingga ratusan juta rupiah.

Kesimpulan : Ada kehebatan dari seorang penulis. Ia jelas ekspresinya. Ia juga punya daya jangkau dakwah yang lebih luas dalam menebar kebaikan. Ia juga punya legacy atau warisan untuk pertinggal jejak kebaikannya, yakni tulisannya. Menulislah, setiap hari. karena anda akan menemukan kebahagiaan; menulis berarti kita MENCIPTAKAN SEJUMLAH KEBAIKAN.

Terimakasih, semoga bermanfaat.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

28. Ketika Bukumu ditolak penerbit mayor

Pulang Bu!

25. Berbagi Pengalaman Menjadi Pemenang Inobel