19. Pengalaman Menerbitkan di Penerbit Mayor
RESUME BELAJAR MENULIS GELOMBANG 9
Pertemuan Ke-19
Waktu :
Pukul 13.00 s/d 15.00 WIB
Materi :
Pengalaman menerbitkan Tulisan di penerbit Mayor
Peresume :
Suhastari Yuliana, S.Pd.AUD
Menurut Pak Ukim menulis merupakan ekspresi
pribadi. Oleh karena itu, sangat penting agar kita memiliki tempat mencurahkan
segala kegelisahan atau apapun bentuknya, dan menulis adalah sarana yang tepat .
Tak perlu merasa khawatir, terkait dengan kualitas tulisan, tidak perduli dengan ragam atau apa yang menjadi trend di
masyarakat. Pokoknya menulis, karena menulis adalah kebutuhan. Demikian hal itu terus berjalan hingga jika
tidak dilakukan seperti ada sesuatu yang hilang. Demikianlah menulis dengan
jujur, sejujur-jujurnya, apa adanya.
Selain menulis apa adanya, juga menulis apa saja. Karena pak Ukim seorang
guru, beliau menulis terkait pelajaran, beragam kegiatan berupa proposal,
liputan kegiatan yang harus dituliskan di majalah, dan menulis buku harian.
Begitu setiap saat diisi dengan menulis.
Hingga sampai suatu hari, tulisan-tulisan itu
mulai dilirik orang-orang terdekat, yang dalam hal ini teman-teman guru. Satu
dua teman berkomentar bahwa tulisan beliau bagus. Istilah mereka, tulisannya
emotif. Kata mereka juga, tulisannya dapat membuat pembaca larut dalam cerita, bahasanya sederhana dan mudah dicerna oleh
pembaca. Ada juga yang mengaku bahwa sepenggal tulisannya dapat dijadikan
ceramah atau kultum, dan lain sebagainya.
Karena komentar tersebut, beliau mencoba
membukukan tulisan-tulisan yang selama
ini merekam semua kejadian karena memang senang membuat buku harian. Ada
beragam kejadian, tetapi tema besar, yang dituliskan merupakan pelajaran
seorang dewasa (guru) dari anak-anak "cerdas" yang menjadi siswanya.
Oleh karena tulisan itu beragam kejadian, beragam waktu, dan dari beragam
tokoh, maka dituliskan judul buku
tersebut, "Menghimpun yang Berserak." Sebuah usaha untuk mengumpulkan
segenap mutiara yang berserakan dalam kehidupan yang sangat bermanfaat bagi pak
Ukim dan semoga bermanfaat pula buat orang lain (pembaca).
Beliau diinterview terkait dua bagian buku.
Pertama, buku bersama yakni buku mata pelajaran. Kedua, buku pribadi ,
"Menghimpun yang Berserak." Dalam kesempatan interview itulah beliau
banyak mendapatkan pengetahuan terkait tips dan trik menerbitkan buku.
Beliau banyak mendapatkan pelajaran menyangkut
hal-hal yang tadinya tidak dipikirkan.
Pelajaran atau informasi itu awalnya, membuat
tidak nyaman karena menabrak prinsip menulisnya. Umpamanya, "Apakah
ketika menulis buku"Menghimpun
yang Berserak" ini sudah memperkirakan akan laku di pasaran?" Kalau
sudah ada, apakah buku punya nilai tambah sehingga pembaca melirik
dan membeli bukunya? Untuk kepentingan pasar, "Apakah bersedia apabila
beberapa hal terjadi penyesuaian (diganti)? dst. Terus terang, beliau merasa
kurang nyaman dengan interview itu, karena merasa "dipenjara". Inikan
ekspresi pribadinya, mengapa orang lain bisa mengatur hal-hal yang sangat
privasi? Menyebalkan! Begitu, oleh-oleh pulang dari interview.
Jujur, ada jarak agak lama berselang setelah
kejadian itu. Beliau menganggap perlu waktu untuk menjernihkan pikiran.
Untunglah beliau punya sahabat. Ia menceritakan permasalahan yang dirasakan
kepada teman yang sudah menjadi penulis "beneran". Hebatnya, sahabatnya
menceritakan bahwa pengalaman yang ia dapatkan itu baik dan mestinya disyukuri.
Sahabatnya kemudian menjelaskan tentang proses menulis yang melibatkan tim agar
tulisan yang kita buat sampai kepada pembaca. Sahabatnya menyudutkannya dengan
mengatakan bahwa sikapnya menyebabkan tulisan hanya untuk sendiri, kalau pun
nanti ada yang membaca itu hanya segelintir orang saja. Itu berarti, pak Ukim
minimal dalam memberi manfaat buat orang lain atau istilah lainnya egois.
Sahabatnya menjelaskan bahwa yang menanyai itu mungkin editor. Sebab, editor adalah
garda depan yang menentukan naskah itu layak diterbitkan atau sebaliknya. Untuk
pemula yang karyanya berpotensi layak untuk diterbitkan memang harus dipoles di sana sini, agar lebih
bagus.
Jika nanti naskah itu bisa melewati editor,
maka proses "menjadi" memang mengalami banyak hal. Ada bagian gambar
sampul, ilustrasi, photo jika diperlukan, tata letak, dan lainnya sesuai
konfirmasi. Yang jelas, semuanya merupakan tim, yang akan menyukseskan penulis.
Demikianlah beliau menjalani proses, hingga akhirnya
ada proses sebelum naik cetak, yang
sangat penting dalam proses kreatif , yakni menerima dami atau calon buku yang
sama persis jika akhirnya bisa dicetak. Beliau gembira sekali menerima buku
dami itu, saking gembiranya,
menandatangi saja kontrak kerjasama tanpa membaca persentase yang
kelak diterima. Diduga sikap itu bukan
sembrono, tetapi karena memang pak Ukim menulis bukan untuk hal tersebut.
Akhirnya, beliau mendapat konfirmasi kabar
bahwa ada meeting terkait dengan terbitnya buku. Pertama, pak Ukim menerima
buku pribadi, yang jumlahnya hanya 5 buku. Buku tersebut berstempel tidak
diperjual belikan. Kedua, beliau diajak bicara terkait dengan teknis launching
Buku "Menghimpun yang Berserak". Ini soal bagaimana membuat buku
laku. Ketiga, penerbit menerbitkan
jumlah yang diterbitkan pada penerbitan pertama ini dan kurang lebih 6 bulan kemudian baru akan mendapat royaltinya.
Peran beliau kemudian adalah mengusahakan bukunya
dapat dinikmati orang lain. Kala itu agak sulit karena media sosial belum
sedasyat sekarang. Kebetulan beliau pembicara, sehingga berupaya menjual
buku-bukunya pada kesempatan bicara tersebut.
Kriteria yang dianggap layak untuk menerbitkan
buku, khususnya terkait buku mata pelajaran, biasanya penerbit mencari buku
yang mempunyai ciri sebagai berikut :
1. Menunjukkan penggunaan pendekatan baru;
2. Lebih lengkap;
3. Penulisnya memang berkualifikasi luar biasa;
4. Naskah renyah (enak dibaca);
5. Diutakan dari hasil penelitian lembaga-lembaga
pendidikan terbaik.
Terkait dengan pengalamannya, butuh waktu
paling lama 6 bulan agar tulisannya dilirik penerbit. Jika tidak ada kabar,
maka pindah ke penerbit lain atau naskah perlu direvisi ulang.
Media yang pertama digunakan Pak Ukim untuk
mempublikasikan tulisannya di bulletin
sekolah, buletin pendidikan DKI, lalu buletin Diknas, dst.
Buku
Guru juga Manusia bisa terjual banyak dan menjadi best seller karena
bantuan publikasi media sosial yang saaat itu sudah mulai menggejala. Untuk
buku berikutnya, beliau mendapatkan berkah dari medsos itu.
Menurut beliau semua buku yang pernah ditulis berkesan.
Dia seperti anaknya, ada yang berkembang dan bermakna bagi masyarakat luas. Ada
juga yang diam-diam hanya dibaca sahabat dekat ketika dia terpuruk di sudut kamar.
Semuanya disyukuri, karena lahir dari beliau dan bangga atas rezekinya.
Penulis yang baik adalah pembaca yang baik.
Banyak-banyaklah membaca sehingga akan mampu menulis. Menulislah setiap hari,
dan sertai juga membaca agar tulisan kita berkualitas. Menulis (produktif) pasokannya adalah membaca
(receptif). Menulis saja. Dengarkan respons dari sekitar. Kita memang
membutuhkan orang yang membuat kita terlecut menjadi lebih baik.
Semua tulisan ada
pagunya. Minimal itu sebagai pegangan dasar. Ke sananya, ketika kita mahir,
kita mampu membuat varasi-variasi yang kita kehendaki tetapi tetap berpegang
pada pagunya.
Mengenai sistem kerja sama dengan penerbit tentang royalti dan pembelian naskah.
Pertama, naskah
dibiayai hingga terbit dengan nama penulis sebagai pencipta buku dipertahankan.
Sebagai gantinya, pihak penerbit menawarkan royalty sebagai pengahasilan
penulis dengan rentang 10% s.d. 12%). Artinya, penghasilan atau keuntungan
sisanya milik penerbit.
Kedua, naskah dibeli
oleh penerbit. Anda sebagai penulis tak lagi berhak mencantumkan nama karena
hak naskah sudah anda jual. Biasanya harga naskah tinggi hingga ratusan juta
rupiah.
Kesimpulan : Ada kehebatan dari seorang
penulis. Ia jelas ekspresinya. Ia juga punya daya jangkau dakwah yang lebih
luas dalam menebar kebaikan. Ia juga punya legacy atau warisan untuk
pertinggal jejak kebaikannya, yakni tulisannya. Menulislah, setiap hari. karena
anda akan menemukan kebahagiaan; menulis berarti kita MENCIPTAKAN SEJUMLAH
KEBAIKAN.
Terimakasih, semoga
bermanfaat.
Komentar
Posting Komentar